Selasa, 11 Desember 2018

Tentang Perjanjian Kawin

Bila sebelumnya Perjanjian Kawin hanya boleh dibuat sebelum perkawinan, kini Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan Perjanjian Kawin dibuat saat pasangan itu telah menjadi suami istri (pasutri). MK menilai hal itu untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.

Perjanjian Kawin diatur dalam Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi:

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikutip dari website MK, Jumat (28/10/2016), tujuan Perjanjian Kawin yaitu:

1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.

2. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).

4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Namun, Perjanjian Kawin harus memenuhi syarat Pasal 29 ayat 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

Nah, dalam UU Perkawinan disyaratkan Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau saat digelar perkawinan. Tapi oleh MK, hal itu diubah dengan memperbolehkan Perjanjian Kawin juga bisa dibuat setelah menjadi pasangan suami istri (pasutri).

"Dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan," ucap majelis dengan suara bulat yang diketok dalam sidang terbuka untuk umum pada Kamis (27/10) kemarin.

Oleh sebab itu, maka MK memutuskan konstitusional bersyarat pada pasal yang dimaksud. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi:

Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Harus dimaknai:

Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Adapun Pasal 29 ayat 3 yang awalnya berbunyi:

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Harus dimaknai:

Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan

Adapun Pasal 29 ayat 4 yang awalnya berbunyi:

Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Harus dimaknai:

Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar