Selasa, 31 Maret 2020

Kisah Kudeta di Tanah Suci 1979 - Pengetahuan

Para penyerbu bersenjata di Makkah tahun 1979.
Foto : Google.com
Para penyerbu bersenjata di Makkah tahun 1979

Banyak Muslim yang belum tahu bahwa Makkah, tepatnya Masjidil Haram, pernah dikuasai oleh sekelompok orang bersenjata. Peristiwa itu terjadi di 20 November 1979. Kala itu menjelang Muharram. Kisruh ini sebagai lanjutan suasana politik Timur Tengah yang memanas setelah adanya revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatolah Khoemaeni.

Ya, imbasnya tentu saja sampai ke Makkah. Setiap kali musim haji tanda-tanda itu menguat. Banyak poster dan bendera dibawa para jamaah. Haji terkesan diam-diam juga menjadi tempat pertemuan politik. Saat itu mulai terdengar santer teriakan agar pengelolaan haji tak diurus Arab Saudi saja. Organisasi Konprensi Islam (OKI) biar yang mengaturnya.

Dan khusus untuk kudeta atau penyerbuan Masjidil Haram itu ada salah satu saksi matanya. Dia adalah Baluki Ahmad, ketua umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh). Kala itu dia masih sangat muda dan tinggal di Makkah serta kadang membantu pelayanan kepada jamaah haji yang dilakukan para syekh atau organisasi pelayanan haji saat itu.

Atas kenangan ini, diterangkan sebenarnya bila dituju ke belakang lagi soal politik kekuasaan di negeri gurun pasir itu berawal dari soal penguasaan air. Setelah itu pada masa kemudian merembet jadi soal penguasaan sumber daya alam, yakni minyak.

'Semenjak dahulu kala memang masyarakat Arab mau tidak mau atau enggan berurusan dengan politik kekuasaan. Bagi mereka pemenuhan pasokan air adalah hal yang sangat vital. Bila pasokan kurang, bahkan menghilang, dipastikan keguncangan politik akan terjadi. Nah, setelah tercukupi, di masa modern kemudian merembet jadi kepada soal perebutan kekayaan alam, berupa minyak.

Uniknya, khusus untuk pengaturan air zamzam misalnya, titik balik pengaturannya bermula dari tragedi pengepungan Masjidil Haram selama dua pekan. Peristiwa ini kerap disebut sebagai ‘Kudeta Makkah’. Persisnya, terjadi seusai shalat Subuh pada 1 Muharram 1400 Hijriyah (20 November 1979).

Kudeta ini diawali dengan peringkusan imam shalat Subuh yang dipimpin Muhammad bin Subail. Tak cukup dengan menyandera sang imam dan merebut mikrofon masjid, tiba-tiba ratusan orang bersenjata yang menyamar sebagai jamaah shalat Subuh, mengeluarkan berbagai macam senapan dan menembaki para penjaga masjid yang saat itu hanya dibekali pentungan. Setelah itu keributan semakin menjadi manakala mereka kemudian menutup semua pintu masjid dan menyandera jamaah yang saat itu shalat Subuh di Masjidil Haram.

Tentu saja akibat penyerbuan itu, Pemerintah Arab dibuat kalang kabut. Selama dua pekan di kawasan Masjidil Haram terjadi aksi tembak-menembak. Pasukan khusus asal Prancis juga diterjunkan untuk merebut masjid itu kembali. Mayat bergeletakan di mana-mana. Di akhir pengepungan terdata 255 jamaah haji tewas, 560 orang terluka, dari pihak tentara Arab 127 orang tewas dan 451 terluka.

Pemimpin pemberontakan Juhaiman al-Utabibi dan para pelaku kudeta yang berjumlah sekitar 500 orang dijatuhi hukuman mati dengan cara dipancung. Dari atas hotel terlihat mayat yang bergelimpangan di dalam masjid. Untuk jamaah yang di antaranya merupakan adik Wakil Presiden Adam Malik, tidak terkena musibah. Yang pasti peristiwa itu tak terlupakan.

Lalu bagaimana berbagai macam senjata bisa dipasok ke dalam masjid? Ternyata senjata-senjata itu telah dipasok bersamaan atau di bawa masuk masjid bersama keranda mayat. Setelah itu ditimbun di dalam kamar-kamar yang ada di dalam Masjidil Haram yang selama ini dipakai oleh orang-orang Yaman yang bekerja membagi-bagikan air zamzam itu.

Mulanya kamar-kamar itu dulu untuk tempat tinggal para imam Masjidil Haram. Namun, karena mereka kemudian tak lagi menempatinya, orang-orang Yaman itulah yang memakainya. Dan ternyata, para peristiwa Kudeta Makkah, tempat itu dipakai untuk menimbun senjata. Senjata-senjata itu ternyata juga telah disiapkan dengan cara disembunyikan di dalam gerobak sayuran dan di antara buah-buhan milik para pedagang yang biasa berjualan di seputaran Masjidil Haram.

Selain itu Kerajaan Arab Saudi di dalam menangani peristiwa kerusuhan pun unik. Sadar mendapat perlawanan yang ketat dari para pemberontak yang menguasai area Masjidil Haram, seluruh pasokan listrik ke area itu dimatikan.

Kala itu para pemberontak pun masih dapat bertahan karena mendapat pasokan air bersih yang cukup dengan cara menimba sumur zamzam yang berada di dalam masjid. Apalagi, mereka ternyata juga sudah menimbun bahan makanan di dalam kamar yang selama ini ditempati para 'pedagang air zamzam' yang berasal dari Yaman tersebut. Selama dua pekan aksi tembak-menembak berlangsung sangat seru.

Dan sadar sepenuhnya bila pemberontak diserbu dengan senjata akan memakan banya korban, pihak tentara Kerajaan Arab Saudi kemudian membanjiri area Masjidil Haram dengan air sampai air tergenang. Setelah itu, air yang tergenang dialiri listrik.

Nah, pada saat itulah para pemberontak menyatakan menyerah karena takut gosong tersengat listrik. Begitu menyerah pasukan kerajaan segera meringkusnya untuk kemudian diadili. Imbas dari peristiwa itu semua anak keturunan dan kabilah Juhaiman diawasi ketat sampai sekarang. Padahal, kabilah ini termasuk kabilah Badui yang besar.

Hikmah dari peristiwa itu, kemudian secara serius Pemerintah Kerajaan Saudi mulai membenahi fasilitas dan cara pembagian air zamzam dan fasilitas lain kepada para jamaah yang hadir di Masjidil Haram. Bila di zaman dahulu untuk meminum air zamzam harus menyediakan uang 1–5 Real Saudi, kini air itu bisa dengan mudah dinikmati. Meski begitu, para jamaah haji sebenarnya pun kini membayarnya karena jasa air zamzam sudah dimasukkan ke dalam biaya 'muzamazah' atau biaya 'standard service' layanan haji.
 
Maka, kini tak heran bila di musim haji dan di setiap tempat penginapan jamaah tersedia air minum dari air zamzam. Sedangkan di kawasan Arafah dan Mina di masa puncak haji juga tersedia tempat minum air zamzam di area terbuka. Keran air zamzam ini disediakan di dalam sebuah wadah mirip wastafel.

Jadi, berkat peristiwa itu, khusus untuk air dan pengelolaan sumur zamzam di Masjidil Haram semakin baik. Kini bahkan area sumur itu sudah ditutup. 

"Tempat pompanya" telah diletakkan di lantai bawah Masjidil Haram. Dan berbeda dengan suasana di awal tahun 80-an itu, sekarang pun sudah tak ada lagi orang yang mandi-mandi atau mencuci pakaian ihram dengan air zamzam. Dahulu kebiasaan ini banyak dilakukan jamaah haji asal India dan Pakistan (bahkan juga di Jawa). Bagi mereka kain ihram yang dicuci dengan air zamzam menjadi bernilai khusus atau magis, yakni sebagai lambang kesucian dan akan dipakai sebagai kain kafannya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar