Selasa, 29 Agustus 2017

Just Sharing

Ketika memikirkan tentang pernikahan, biasanya orang membayangkan bahwa kehidupan setelah menikah itu literally serba sama-sama dan bareng-bareng. Tinggal di bawah atap yang sama, tidur di kamar yang sama, bangun tidur sama-sama, shalat shubuh bareng, ngopi bareng, dan seterusnya.

Tapi tidak semua pernikahan bisa berlangsung sedemikian idealnya.

Seringkali pernikahan menyatukan jiwa dan hati, tapi raga tidak. Beberapa alasan membuat banyak pasangan harus berjarak cukup lama. Pendidikan, pekerjaan, anak, atau alasan personal lainnya.

Jika dalam keseharian kita mengenal istilah Long Distance Relationship untuk menggambarkan hubungan dua orang yang berjauhan tempatnya, dalam psikologi, kehidupan pernikahan dengan model seperti ini disebut dengan commuter marriage.

Memasuki tahun ke-3 pernikahan, tak dinyana saya dan suami harus mengalami kondisi ini. Bertemu seminggu sekali, kadang berjumpa via WhatsApp. Sebelumnya kami tidak pernah berpikir tinggal terpisah untuk alasan apapun, tapi rupanya kehadiran anak bisa mengubah banyak hal, lho.

Untuk alasan pekerjaan, kami memilih jalan ini. Realistis sekali, meski mengorbankan kebersamaan. Tapi tetap dalam proses mengusahakan agar bisa kembali bersama.

Tapi buat saya, hubungan jarak jauh seperti ini banyak sisi positifnya. Setidaknya sampai hari ini saya merasa keluarga kecil saya tetap seimbang dan utuh. Ada kegeregetan yang lebih terasa setelah berjarak seperti ini.

Kalau kata orang memasuki usia 3,4,5 tahun pernikahan, akan timbul kebosanan dan grafik kepuasan pernikahan menurun (that time when you wanna try something new). Berjarak seperti ini bisa memelihara cinta pasangan sehingga menyala selalu. Tidak terlalu jauh untuk didekap, tidak juga terlalu rapat sehingga mematikan ruang-ruang personal.

Banyak pernikahan yang berujung perpisahan karena pasangan mematikan ruang personal. Ruang personal, menurut pengalaman saya, harus tetap ada meskipun kita sudah menikah. Apa itu ruang personal? Ruang yang isinya hanya urusan suami atau istri sendiri, tanpa dominasi pasangan. Bukan ruang secara fisik, ya. Tapi ruang keleluasaan bagi suami dan istri sehingga tetap bisa menjadi dirinya sendiri, dengan mimpi dan hobinya masing-masing. Dan commuter marriage, bisa lebih memungkinkan itu untuk terjadi.

Saya berkata demikian karena membandingkan dengan kehidupan pernikahan sebelum masa commuter seperti sekarang. Ujian bagi seseorang yang mencintai (siapa dan apapun) adalah menghindari keterikatan dengan hal yang fana (dan bukan miliknya). Jika terus-menerus dekat, kadang terlena. Merasa memiliki, merasa berhak meminta, berhak menuntut. Padahal, suami, istri, anak, itu semua punya Allah.

Bukan berarti yang tinggal sama-sama ngga oke. Selama ruang personal tetap ada, pasangan mana pun bisa jadi hebat. Ujian setiap keluarga kan beda-beda ya.

Idealnya keluarga tinggal satu rumah, syukuri jika sumber penghasilannya dekat dari rumah. Tapi kalau harus berpisah, syukuri juga. Allah ingin hamba-Nya menjemput rezeki, kan? Pokoknya mah syukuri apa yang ada. Karena hidup adalah anugerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar