Minggu, 27 Agustus 2017

Cuanki dan Masa Lalu

Meski sudah sejauh ini. Seasing ini, aku masih mencoba diam-diam membuat kesepakatan dengan Tuhan tentang sebuah pertemuan singkat denganmu.

Di kedai kopi sepi atau di taman-taman rindang jam dua belas siang. Nyanyian hentakan kayu rujak tumbuk yang kita pesan akan menjadi lagu pengiring, atau juga kau boleh memilih ditemani kepulan asap dari ibu-ibu tambun yang mengipas arang agar ketannya matang.

Aku akan memesankan satu porsi untukmu. Kita akan sangat menikmatinya. Bahkan hingga di setiap titik pecin dari rasa lezat jajanan taman yang luruh di kedua lidah yang dulu pernah saling berpelukan erat dalam satu rahang. Desir-desir angin serta oksigen yang jatuh dari pohon di sekitar kita membuat bara yang selama ini menyala panas di salah satu hati diam-diam kian meredam padam.

Apa kabarmu? Bagaimana pekerjaanmu ? Sudah menentukan akan kerja di manakah setelah tugasmu rampung? Juga bagaimana kabar ibumu? Sehatkah beliau? Masih ingatkah beliau tentang aku yang pernah dengan bangganya dititipkan mandat untuk menjagamu?

Aku pasti akan berbicara banyak; Perihal hal-hal di luar tentang masalah-masalah yang melibatkan hati kita berdua. Sejujurnya aku masih sering khawatir. Apakah kau masih jarang makan malam? Sakitkah kamu? Bagaimana kabar tanganmu yang patah? Lupakah kau menyimpan tas laptopmu selalu? Masih ingatkah untuk selalu mencabut stop kontak mobilmu? 

Juga jika kau izinkan, aku ingin bercerita tentang semua hari yang kulalui setelah dengan beratnya kau memilih pergi.

Perihal bukuku, perihal tempat-tempat yang dulu selalu kita datangi; yang sudah tutup maupun yang kini makin bertambah besar.

Tentang adik-adikku, tentang hidupku, tentang usahaku, tentang pekerjaanku, dan tentang rencana-rencana baruku yang banyak berubah setelah kau memaksa mendobrak pintu dulu.

Ditemani semangkok cuanki dengan kuah pedas dan es teh tawar kesukaan,  aku ingin pertemuan kita benar-benar sedamai itu. Damai dari segala luka masa lalu, dari dendam, dari sakit hati, dari semua salah paham, juga dari amarah dan benci. Aku ingin kita berdua sehari saja bisa lepas dari itu semua.

Saling berbagi cerita sebelum kemudian aku membayar makanan yang telah kita pesan, lalu kita berdua pergi saling memunggungi dengan gegas di jalan masing-masing tanpa tahu apakah nanti masih ada kesempatan bertemu lagi.

Ya, seperti itulah.
Meski sudah sejauh ini. Seasing ini, aku masih mencoba diam-diam membuat kesepakatan dengan Tuhan tentang sebuah pertemuan singkat denganmu.

Yang entah akan Tuhan kabulkan kapan. Atau bahkan mungkin tidak akan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar