Senin, 12 Desember 2022

Hari Tasyrik (9)




Siang hari setelah aktivitas melempar jumrah Aqabah selesai, jamaah yang sudah bangun dari tidurnya memulai aktivitas di dalam dan di sekitar tenda. Tidak ada yang dapat dilakukan selain hanya membaca, mengaji, duduk-duduk, ngobrol, tiduran, dan sebagainya. Pasokan catering untuk makan siang dan makan malam tetap datang. Catering makan siang datang pada pukul 10 pagi, sedangkan catering makan malam datang pada sore hari. Di sekitar tenda juga tersedia air panas untuk memasak mie instan, teh, atau kopi.

Saya berjalan-jalan ke luar tenda, karena saya belum melihat suasana perkampungan tenda pada siang hari. Jamaah yang sudah berpakaian biasa terlihat bercengkerama di luar.

Jamaah haji bercengkerama di luar tenda

Dua orang jamaah haji setelah tahalul


Aktivitas yang paling ramai adalah di sekitar toilet merangkap kamar mandi. Puluhan orang antri untuk mandi atau membuang hajat. Jika terlalu lama anda di dalam, seseorang di luar mungkin menggedor-gedor pintu toilet. Ya, harap bertoleransi saja dan menenggang rasa dengan jamaah haji orang lain. Harap dimaklumi juga orang Indonesia tidak bisa menjaga kebersihan. Bungkus shampo, sabun mandi, dan yang paling mengenaskan adalah ceceran BAB orang-orang tua yang tidak bersih membersihkan diri. Oh ya, di dalam toilet ini hanya tersedia selang air dingin tapi terasa hangat, tidak ada bak apalagi gayung air.

Antri di depan jajaran toilet di sekitar tenda

Saya melihat ke arah jalan di sekitar tenda. Jamaah haji yang tidak punya kegiatan menghabiskan waktu di luar, sembari melihat-lihat dagangan kaki lima yang juga berjualan secara sembunyi-sembunyi.

Saya melongok ke arah jalan. Masih banyak rombongan jamaah haji yang baru pulang melempar jumrah Aqabah. Mereka tetap melempar jumrah pada siang hari. Setiap KBIH memang berbeda-beda dalam  menentukan waktu untuk melempar jumrah. Menurut saya semuanya sah saja karena ada dalilnya masing-masing dan tidak perlu dipersoalkan.

Pulang dari melempar jumrah Aqabah

Adzan Maghrib di Mina menandakan waktu pun berganti hari menjadi tanggal 11 Zulhijjah. Ini berarti hari-hari Tasyrik pun dimulai. Selama hari-hari Tasyrik jamaah haji melempar 3 jumrah, yaitu jumrah Ula, jumrah Wustha, dan jumrah Aqabah. Batu-batu di dalam kantong plastik kecil yang berwarna bening masih cukup untuk melempar ketiga jumrah itu. Ustad pembimbing haji mengatakan bahwa kita akan melempar tiga buah jumrah pada pukul 2 dinihari nanti. Jadi, sama seperti tanggal 10 Zulhijjah, kita akan melempar jumrah pada waktu dinihari. Oke, jadi jamaah haji tidur dulu dan bangun lagi pukul 12 malam.

Jam 12 malam kami dibangunkan. Pak Ustad menyuruh kami menyiapkan semua barang bawaan. Lho, mau ke mana, kata saya? Ternyata, setelah melempar tiga buah jumrah nanti, kami langsung kembali ke hotel di Mekkah, tidak kembali lagi ke tenda di Mina. Saya baru paham, berada siang hari di Mina tidak diwajibkan, sebab yang wajib itu adalah mabit (bermalam) di Mina. Barang siapa yang berada siang hari di Mina, maka dia wajib bermalam di Mina. Sementara, kami tidak akan di Mina pada siang hari, tetapi istirahat di hotel saja. Nanti setelah Maghrib kami akan kembali ke Mina untuk mabit. Tenda-tenda yang sempit di Mina dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai memang kurang nyaman bagi jamaah haji, jadi kalau bisa istirahat di hotel kenapa tidak.


Jam 2 malam sampailah kami di jamarat. Mula-mula kami melempar jumrah Ula yang berukuran kecil sebanyak tujuh kali, selanjutnya jumrah Wustha sebanyak tujuh kali, dan terakhir melempar  jumrah Aqabah sebanyak tujuh kali. Jamaah haji tidak terlalu padat malam itu sehingga melempar jumrah dapat dilakukan dengan mudah.


menunggu bis yang akan mengantar ke muzdalifah

Tenda di padang arafah

Selesai melempar tiga buah jumrah kami meninggalkan jamarat, berjalan kaki menyusuri jalan menuju pemondokan. Setelah melewati beberapa bukit batu, jalanan yang padat dengan bus-bus rombongan jamaah haji, sampailah kami ke pemondokan pukul 7 pagi. Jarak dari jamarat ke pemondokan kira-kira 5  km. Berjalan kaki adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan selama berhaji, jadi fisik harus kuat, badan harus sehat.

Jamarat tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram

Sore hari kami berjalan kaki kembali dari hotel ke jamarat. Ya, kami akan melempar tiga buah jumrah pada hari  Tasyrik kedua (12 Zulhijjah). Kita harus berada di Mina sore itu, yang berarti harus bermalam di Mina. Dalam perjalanan dari Syisah 2 ke jamarat, kami melewati ujung terowongan. Itulah terowongan Mina, terowongan yang punya sejarah monumental bagi jamaah haji Indonesia. Di dalam terowongan inilah terjadi tragedi Mina tahun 1990, yaitu bertemunya arus manusia yang mau melontar jumrah dengan arus manusia yg baru pulang melontar jumrah. Tubrukan tidak terhindarkan dan ribuan jamaah mati syahid terinjak-injak. Ada 600 lebih jamaah haji Indonesia yang jadi korban.  Tapi itu dulu. Sekarang sudah dibangun dua terowongan, satu untuk pergi dan satu untuk pulang.

Terowongan Mina

Sore hari sebelum Maghrib kami sudah sampai ke areal jamarat, tapi belum masuk gedung jamarat. Kami akan melempar jumrah setelah lepas tengah malam. Di areal jamarat ini saya menyaksikan ratusan ribu jamaah haji datang dan pergi pada hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) untuk melaksanakan lempar jumrah. Semakin sore semakin padat karena cuaca sudah berkurang kegarangan panasnya. Mungkin mereka sama seperti kami, pada siang hari pulang ke Mekkah, lalu sore hari kembali ke Mina untuk mabit. Saya merinding melihat ratusan ribu jamaah yang mengalir seperti air bah.

Ratusan ribu jamaah bagai air bah mengalir ke jamarat.

Karena hari masih sore, jadi kami duduk-duduk dulu di sini. Ternyata para askar mengusir  jamaah yang duduk-duduk maupun berdiri dalam kelompok-kelompok. Hajj..hajj, teriak mereka mengusir jamaah haji yang berdiri. Ya, jamaah yang duduk atau berdiri (tidak berjalan) dianggap oleh askar menghalangi pergerakan jamaah haji lainnnya. Askar-askar itu sih inginnya kami terus berjalan kaki ke arah gedung jamarat, tapi kan kami baru akan melempar jumrah pada pukul 2 dinihari nanti.


Berfoto di area jamarat

Sambil menunggu waktu Maghrib, kami mulai membentangkan sajadah di aspal, lalu sholat sunnat. Nah, kalau sedang sholat, maka askar tidak akan berani mengusir orang yang sholat. Sholat Maghrib dan Isya dilakukan dengan niat jamak.

Selesai sholat Maghrib, kami berjalan kaki menuju gedung jamarat. Jalan kakinya pelan-pelan saja, tidak buru-buru, karena waktu melempar jumrah masih lama. Selama dalam perjalanan kami menemui jamaah haji berbagai bangsa dalam kelompok-kelompoknya. Jamaah haji dari Indonesia tampil dengan busana batik yang khas dan membawa bendera yang melambangkab KBIH atau daerah mereka. Sebagian jamaah haji Indonesia sangat unik, mereka berjalan kaki dengan semangat sambil menyanyikan shalawat. Pastilah itu jamaah haji dari kalangan nahdliyin (NU).

Duduk-duduk di area terlarang untuk menunggu waktu tengah malam.

Akhirnya setelah menunggu selama enam jam, waktu menunjukkan pukul 2 dinihari. Kami segera naik ke lantai satu untuk melempar tiga buah jumrah seperti kemarin. Tujuh lemparan untuk jumrah Ula, tujuh lemparan untuk jumrah Wustha, dan tujuh lemparan untuk jumrah Aqabah. Berhubung kami mengambil nafar awal, kami tidak melakukan lempar jumrah pada hari tasyrik ketiga. Oleh karena itu, batu-batu yang tersisa di dalam kantung batu harus dibuang ke dasar jumrah. Batu-batu itu tidak boleh dibawa pulang ke tanah air sebagai oleh-oleh atau kenang-kenangan. Cerita dari ustad kami, pernah ada jamaah haji yang membawa pulang batu dari Mina sebagai oleh-oleh, tapi  di tanah air dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Percaya atau tidak, maka sebaiknya kita ikuti saja nasihat untuk tidak membawa pulang sisa batu pelepar jumrah ke tanah air supaya tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan.

Oh ya, tadi saya menyinggung tentang nafar awal. Selain nafar awal maka jamaah haji bisa memilih melakukan nafar tsani. Jika melakukan nafar awal, maka kita melempar jumrah hanya pada tanggal 11 dan 12 Zulhijjah saja. Jika melakukan nafar tsani, maka kita melempar jumrah sampai tanggal 13 Zulhijjah. Jika seseorang berada di Mina pada siang hari tanggal 12 Zulhijjah, maka dia harus mabit di Mina tanggal 13 Zulhijjah, dan wajib melempar jumrah pada tanggal 13 Zulhijjah. Kedua nafar ini sama sahnya.

Karena kami melakukan nafar awal, maka kami harus kembali ke Mekkah guna melakukan tawaf ifadah.  Dari jamarat kami berjalan kaki kembali keluar dari Mina. Kami sampai di luar kota Mekkah (saya lupa namanya, mungkin Aziziyah) yang dinihari itu sangat ramai. Ada beberapa hotel jamaah haji Indonesia di sini. Mungkin inilah hotel jamaah haji yang terdekat ke jamarat.

Dari sini perjalanan ke Masjidil Haram akan ditempuh dengan berjalan kaki. Sebagian jamaah yang tidak kuat lagi berjalan kaki memilih menyewa taksi ramai-ramai ke Masjidil Haram. Saya memilih berjalan kaki saja ke Haram bersama teman yang lain. Menurut saya ini perjalanan spiritual, jadi lebih baik berjalan kaki saja samil meresapi suasana batiniah yang tidak akan terlupakan seumur hidup.

Tenda bocor dan banjir masuk karena hujan besar.

Perjalanan ke Masjidil Haram kira-kira jauhnya 5 km. Saya dan beberapa jamaah lain berjalan kaki melewati jalanan kota Mekkah yang tetap ramai. Sesekali berhenti untuk istirahat dan minum teh yang dijual di pinggir jalan. Sungguh suasana dinihari itu sangat syahdu bagi saya. Alhamdulillah kaki saya masih kuat berjalan.

Kami pun sampai di mulut sebuah terowongan. Ini adalah terowongan yang sering saya lalui jika naik bus sholawat ke Haram. Ini berarti di ujung terowongan sana adalah terminal bus Syib Amir. Dengan kata lain sebentar lagi saya akan sampai di Masjidil Haram. Panjang terowongan ini 800 meter.

Terowongan ke arah terminal Syib Amir

Bejalan di dalam terowongan. JHarus hati-hati karena kendaraan melaju kencang. Tidak ada trotoar.

Di ujung terowongan terlihatlah Menara Zamzam beridiri dengan megah. Allahu Akbar, saya sudah sampai kembali ke Haram. Adzan Subuh berkumaandang tepat ketika kami sampai. Kami pun segera berlari untuk mengejar tempat buat sholat subuh. Masjidil Haram saat itu tidak ramai. Masih sepi saat itu karena sebagian besar jamaah masih berada di Mina. Tentu saja, karena sebagian besar jamaah haji masih berada di MinaMungkin setelah matahari sepenggalahan naik Masjidil Haram akan semakin ramai.

Selesai sholat subuh, kami turun ke mataf untuk melaksanakan tawaf ifadah. Karena jamaah tidak ramai, maka tawaf ifadah dapat dilakukan lebih cepat. Selesai tawaf ifadah, saya duduk di mataf, duduk memandangi Baitullah, Ka’bah yang menjadi pusat kiblat ummat Islam sedunia.

Duduk memandangi Ka’bah usai tawaf ifadah

Tinggal menghitung hari lagi saya di sini. Hampir empat puluh hari meninggalkan tanah air, berada di tanah suci. Tiba saatnya untuk berpisah. Sedih? Ya sudah tentu. Ingin lebih lama lagi di sini, tetapi program pemerintah untuk haji hanya 41 hari. Selain itu tugas-tugas di kampus pun sudah menanti. Mahasiswa sudah menunggu. Keluarga di rumah juga sudah menunggu. Tugas-tugas kehidupan adalah arena ibadah selanjutnya.

Ke kamar mandi di lantai dasar


pintu masuk dan keluar di tenda mina

Tawaf ifadah bukanlah tawaf wada’. Jadi, setelah melakukan tawaf ifadah, sholat di maqam Ibrahim, minum air zam-zam, lalu jamaah haji melakukan ibadah sa’i antara Safa dan Marwa. Dengan demikian tuntaslah rangkaian ibadah haji, sebelum nanti ditutup dengan tawaf Wada’ sebelum kembali ke tanah air. Kami kembali ke hotel dengan taksi, karena bus Sholawat belum beroperasi. Tarif taksi melambung tinggi pada hari-hari setelah melempar jumrah. Saya berlima dengan teman membayar 250 riyal, per orangnya 50 riyal.

Tiba di hotel….whuahhhh…mengantuk sekali, capai sekali selama tiga hari dua malam ini.  Waktunya membayar utang tidur dengan tidur pulas siang hari ini. 

Sesampai di hotel, lega rasanya bertemu dengan kasur dan kamar mandi dengan air yang deras. Setelah sholat Shubuh, maka apalagi yang dilakukan selain tidur. Sungguh melelahkan tetapi menyenangkan sekali pengalaman melempar jumrah pada hari tasyrik pertama. Siang hari saya terbangun dari tidur pulas. Suami dan teman-temannya menggunduli rambut. Ada teman yang membawa alat cukur dari Bandung, jadi kami tidak perlu pergi ke barber shop. Ini pertama kali saya melihat adik saya gundul, karena dia belum pernah botak, he..he..he.Di hotel saat itu para bapak2 semua berkepala sama gundul pelontos.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar