Bak kata sebuah lagu, ada pertemuan tentu ada pula perpisahan.
“Pertemuan atau berada di Baitullah memiliki makna tersendiri bagi setiap orang yang pernah mengerjakan haji atau umrah.
Baitullah bukan hanya sekedar “rumah” yang ditatap hanya sepintas dan kemudian ditinggalkan. Baitullah ternyata menjadi sumber kerinduan bagi seluruh jamaah haji.
Setiap jamaah yang meninggalkan Ka’bah rindu untuk kembali ke sana, bahkan tidak sedikit orang yang meneteskan air mata karenanya. Berbeda dengan ketika melihat dan menyaksikan suatu tempat yang lain yang tanpa kesan dan tidak tertarik lagi untuk kedua kaki dan seterusnya. Memandang Ka’bah menumbuhkan keimanan di dalam hati” (Dikutip dari buku panduan haji Kemenag).
Bagi seorang muslim, tiada satupun tempat di muka bumi ini yang selalu dirindukan untuk ingin dikunjugi lagi, dikunjungi lagi, dan seterusnya, selain Baitullah. Haji memang wajib satu kali saja, tetapi umrah bisa kapan saja selagi masih punya umur, biaya, dan kesempatan. Kalau sudah berada di tanah air lalu mendengar teman atau tetangga naik haji atau umrah, mungkin tiba-tiba saja perasaan di dalam dada berkecamuk rindu dengan penuh keharuan. Kapan pula saya akan ke sana lagi?, begitu kira-kira. Mungkin perasaan yang sama akan saya rasakan pula tahun depan ketika melihat postingan teman2 di media sosial yang pamitan naik haji.
Satu per satu jamaah haji gelombang pertama mulai pulang ke tanah air. Kami yang termasuk ke dalam Kloter 56/JKS akan pulang nanti tanggal 4 September 2019 melalui bandara Kota Madinah. Jamaah haji gelombang kedua masih ada yang tetap berada di Mekkah selama 30 hari, lalu kemudian pindah ke kota Madinah dan pulang ke tanah air melalui bandara Madinah.
Sebelum berangkat ke Kota Madinah, kami semua kembali ke Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf Wada’ atau tawaf perpisahan. Kami sengaja mengambil waktu tawaf setelah sholat Subuh agar dapat melaksanakan tawaf di plaza di depan Ka’bah. (Tapi ternyata Masjidil Haram penuh sesak, pada akhirnya rombongan kami melakukan tawaf Wa'da di roof top Masjidil Haram). Bus Sholawat sudah mulai berperasi sesudah hari-hari tasyrik,jadi kami bisa ke Haram naik bus lagi. Masjidil Haram sesak dengan jamaah karena ternyata jamaah haji dari berbagai negara juga melakukan tawaf Wa'da dan untuk pulang ke tanah airnya.Melaksanakan tawaf perpisahan sungguh mengharukan. Inilah tawaf perpisahan dengan Baitullah. Hampir semua jamaah berlinang air mata ketika melakukan tawaf wada’, karena sebentar lagi akan berpisah dengan Baitullah. Selesai tawaf wada’, kami berdoa dipimpin oleh Pak Ustad. Kami berdoa agar dapat bertemu kembali dengan Baitullah. Dalam doa ada air mata.Usai berdoa, rombongan jamaah KBIH meninggalkan Masjidil Haram. Saya sengaja memisahkan diri dan belum ingin pulang. Saya ingin duduk lama di depan Ka’bah rasanya sebelum saya pulang ke hotel. Sebab, setelah tawaf wada’ ini kita tidak bisa lagi mengunjungi Ka’bah, tidak boleh lagi tawaf. Saya belum ingin berpisah dengan Baitullah. Saya menumpahkan isi hati saya kepada Allah, menceritakan apa yang yang saya rasakan. Terbayanglah anak dan orangtua serta adik bungsu saya, semoga kami semua segera bersama2 bisa umroh dan berhaji kembali. Membuncahlah tangis saya tak tertahankan. Saya menangis tersedu-sedu, saya berdoa, meminta kepada Allah agar dikabulkan semua doa yang saya panjatkan. Saya menangis, mohon ampunan, memohon lindungan, memohon segala apa yang ada di dalam hati saya. Saya belum pernah menangis tersedu-sedu dalam waktu yang lama seperti ini. Belum pernah.
Saya mengisi air botol air mineral dengan air zam-zam sebanyak-banyaknya. Saya ingin membawa pulang beberapa botol air zam-zam, meskipun Pemerintah Arab Saudi akan memberikan secara gratis 5 liter air zam-zama.
Kami berjalan ke arah pintu keluar Masjidil Haram melalui jalur sa’i. Mata saya terus menatap Ka’bah. Dan terakhir kali sebelum Ka’bah hilang dari pelupuk mata, saya potretlah ia dalam mode siluet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar