Jumat, 13 September 2019

Mekkah

Al-Balad (negeri yang aman) adalah nama lain dari kota Mekah. Tepat pada hari Jum’at, 26 Juli 2019 lalu robongan kami menginjakkan kaki di kota kelahiran para nabi ( Mekkah) sekitar jam 9 waktu Mekkah (jam 1 Wib). Dikeliling gunung-gunung, dipadati oleh bangunan-bangunan pemukiman dengan ka’bah sebagai pusatnya. Lembah sempit yang menjadi identitas kota mekah, tampak ramah dalam kemegahan.

Dengan tangan terbuka, kota Mekah menyambut para tamu Allah setiap tahun. Rombongan kami (rombongan Aceh Tengah), mulai tawaf sesampainya di kota ini. Namun, belum sempurna satu putaran mengelilingi ka’bah anggota rombongan mulai bergerak terpisah. Seumpama batang korek api yang dihempaskan ditengah batang korek api yang sudah terhempas sebelumnya. Membaur dalam kepentingan yang sama, menjalankan ibadah.

Mau tidak mau, di negeri yang masih asing ini kami harus dan mulai melaksanakan rangkaian ibadah dengan kaum muslim dari berbagai negera. Dengan karakteristik tubuh kebanyakan orang Asia, rombongan kami harus terus berjalan menyesuaikan diri dengan kaum muslimin dari Turki, India, Afrika yang ukuran tubuh mereka bisa dua kali lipat dari ukuran tubuh kami. Namun, Yang Maha Kuasa menunjukkan kekuasaan dan perlindungannya. Kami mulai dikumpulkan kembali dalam barisan yang sama dan bergerak perlahan.

Seperti keramah-tamahan kota Mekah, kamu muslimin yang juga menunaikan haji menjukkan nilai yang sama. Para jama’ah dari India memberi kami air dan membantu kami dengan menyemprotkan air di saat kami tampak menahan lelah, karena suhu udara yang cukup berbeda dengan suhu udara tanah air. Pun juga saat kami shalat sunat tawaf di belakang makam Nabi Ibrahim, Allah kembali menunjukkan kuasanya. Kami di jaga oleh petugas-petugas kota Mekah untuk melaksanakan shalat sunat, sehingga tidak ada jamaah yang lalu lalang di depan saat kami beribadah.

Cerita kemurahan hati para tamu Allah terus berlanjut. Pada saat rombongan menikmati teguk demi teguk air Zam-zam, seorang berpakaian sangat rapi dengan pakaian khas arab dengan ramah menyodorkan buah kurma.

Kemudian perjalanan selanjutnya adalah melaksanakan ibadah Sa’i, salah satu rukun haji (jalan antara Shafa ke Marwa di lantai dasar). Tidak terbendung tangis sembari menyusuri jejak kaki Siti Hajar. Terbayang bagaimana ia berlari-lari mendaki dan menuruni bukit mencari pertolongan untuk menyelamatkan Ismail kecil.

Dipendakian bukit Marwa, putaran ketujuh ada rasa lelah tapi bangga, rasa bangga yang juga bercampur rasa sedih saat mengingat betapa beratnya perjuangan Siti Hajar.

Seorang perempuan yang tidak mengeluh, patuh ia akan perintah Allah. Disini juga, tidak terbendung tangis dan terkadang diselimuti juga oleh rasa takut akan bekal iman yang tidak seberapa kita bawa sebagai manusia. Ditempat ini juga malaikat turun dari langit dan menolong Siti Hajar serta Ismail.

Setelah itu dilanjutkan dengan Tahalullu (menggunting rambut) sebagai simbol membuang sifat kemegahan, disertai do’a; “Ya Allah jadikanlah untuk setiap helai rambut yang aku gunting sebagai cahaya pada hari kiamat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar