Minggu, 14 Oktober 2012

.........

Membaca adalah melibatkan diri kita didalamnya.
Menyelusuri jejak dan sejarah tokoh-tokoh di dalamnya, mencecap segala rasa yang dihadirkan dalan cerita.
Kebahagiaan, kesedihan, penghinaan, penderitaan, ketekunan, pun ketegaran memiliki pesan tersendiri.
Aku biasanya berbaring dengan buku pada perutku, menghadap langit-langit kamar.
Sebuah buku terbuka untuk ku.
Segelas air putih dan beberapa gorengan dipiring kiriku ikut menemani.
Bahkan ketika aku sendiri.


Cahaya Dalam Sunyi

Ketika gelap dan hening mencapai puncaknya, gelombang laut pasang di dada melayarkan aku ke negeri yang amat jauh. Sejauh itu pula taringnya berlayar dan menancap di urat nadi leherku. Sedikit perih tapi melegakan. Dan tiba-tiba aku merasa sangat lapar dan dahaga. Barangkali hanya aku yang tetap setia mencari cahaya dengan mengendap-ngendap dalam sunyi.




Ujian

Setiap kali terdengar ketukan
Hanya bayang-bayang yang memanjang
Di depan berdiri lelaki tampan
Selalu, berdekatan
Kau singgah di depan, dibelakang
Kadang jua disamping bersebelahan
Kaulah yang pertama kali berderit
Sebelum yang lain menyembunyikan punggung tangan
Menyisakan waktu mengisi teka teki perjuangan
Sehabis menyelesaikan isian
Kau ajak aku mengimami akal yang lusuh
Digerus pergesekan otak kiri dan otak kanan
Rongga ini lebih hiruk dari segala macam peperangan
Dan akal kita lebih sibuk dari mesin pesawat tempur, katamu
Kau ajak aku membenarkan letak setiap jawaban
Karena aku sering lupa akal dimana kita rumahkan
Di dada atau di kepala?
Lupa pula
Dimana kelak nanti kita bersama


1995




Radio Dalam

Pertemuan kita melekat pada kerut buah jeruk
Di celahnya, irisan daging sudah lama tak berair
Ada lidah yang telah menggeyarkan kata-kata
Selebihnya menyisa pada sekuntum melati di sebelah kiri
Sebagai siapa kau datang pada hari raya ini
Sebagai pelukan sahabat ulang tahun
Sebagai ciuman nenek di dahi
Atau sebagai lelaki yang datang menawarkan perundingan....

1998




Perkenankanlah

Perkenankanlah ku menanam mawar di sini
Jelang datang dikepala musim hujan
Yang membasuh  keletihan
Dibawah sebatang pohon
Telah kusediakan bangku panjang
Melepas lelah menghisap kesejukan
Padatkan kerinduan dan segala sakit jadi kerikil
Untuk ku lemparkan satu persatu ke telaga
Tiada guna terjebak berlama-lama menanggung masa lalu
Sebelum perpisahan diazankan
Semasa jjntung masih berupa gunung api
Ku kuburkan kerinduan di setiap rumpun mawar
Atau alihkan ke dasar terdalam telaga
Hingga ia tidak bisa lagi berbunyi

Oktober 1999
Permata Karawaci




Sabtu, 13 Oktober 2012

Mamah

Dia telah begitu banyak berjasa
Sejak awal masa
Sejak pertama mataku mengenal dunia
Dia selalu bersamamu
Menemanimu
Tapi aku masih juga tak tahu
Apa yang sebenarnya dia mau.

U11 nomor 3 Serpong

Balon karbit yang mengawang di angkasa
Seseorang telah melepaskannya
Sengaja
Atau hanya iseng belaka
Waktu demi waktu, masa ke masa
Dia cuma melayang
Entah sampai kapan
Kau tahu
Dia akan terus disana
Entah kau ada
Atau tiada
1998



Lama begitu Lama

Seperti perpustakaan tua tanpa penjaga
Buku-buku berjajar,bertumpuk,berserak,tersebar
Siang malam,kemarau hujan,orang-orang datang
Siang malam,kemarau hujan,orang-orang membaca
Siang malam,kemarau hujan,orang-orang menulis
Kisah cinta, nostalgia, malapetaka, insomnia, amnesia, paranoia

Kau sadar, engkau salah satu dari mereka.

1999


Tangerang Malam Hari

Sebuah pertemuan bukanlah
Sekedar basa-basi yang tercatat
Atau pun yang tidak tercatat
Ia senantiasa akan berlangsung
Dengan caranya
Aku takut malam ini
Untuk memainkan peranku
Sebagai kekasih atau sebagai
Pengembara
Jalan lurus serpong
Seperti hatiku yang tak tahu
Menuju ke siapa
Perlahan-lahan aku menjauh
Di sudut kota ini
Tertunduk tak berdaya
Oleh seribu kegamangan
Yang menusuk dadaku
Langit malam di Karawaci
Terlalu sepi bagi seorang
Yang hanya menatap bulan
Diantara gedung-gedung beton bertulang.

1998





Jalan Pajajaran

Barangkali hanya kepak sepi
Yang melesat di langit
Dan tak sengaja
Menjatuhkan bayanganmu
Sampai pada ujung kakiku
Dari arah perkampungan padat
Orang-orang masih merapikan
Kecemasan dalam lipatan
Wajah lelah
Dekapan hari sisa debu
Dan jerit luka
Berbaur saling campur
Di tepi jalan
Menggigilkan kenanganku
Hanya ada hati
Yang tak retak tak kunjung
Menemu oenawar rindu para tamu dari kota lain
Membuka lembar hidupnya
Dengan laguku
Seolah tinggallah luka
Ditiap persimpangan
Dan membawanya lari
Aku tak pernah ingin
Kembali ke sudutmu
Yang dingin
Karena diujung sana sebuah kampung
Telah memungutnya dari mimpiku
Ke entak kemana pergi
Aku masih ketakutan
Dalam pengembaraan
Dari pejalan malam.
1996


Kampus Padjajaran

Mimpi dari kota ini
Telah berulang kali
Padaku memanggil
Dari jarak yang paling jauh
Sekalipun terdengar lirih
Seperti lagu-lagu
Gaung yang sumbang
Pernah kulayangkan
Wajahku pada indahnya
Pertama kali perjumpaan
Meski hanya tinggal
Kepadatan dan keruwetan
Di dalam kepala ini
Aku hendak menitipkan
Kenanganku untuk ditanam
Di tempat ini
Datanglah sesukamu! !!
Dengan atau tanpa
Pendampingmu....


1996




Sabtu, 06 Oktober 2012

Topeng Jelita

Ada ungkapan serigala berbulu domba
Ada pula yang berbunyi, musang berbulu ayam
Ungkapan kepada manusia yang tampak baik,
Tapi sebenarnya culas....


Kisah Wajah Muram

Dengarlah ceritaku
Tentang kisah pilu kawan sekolahku,dulu
Saat ia tiba-tiba duduk dibangku ku
Berbicara seperti gumaman
Aku tak akan meneruskan sekolah,katanya
Sebelum namanya dipanggil guru
Untuk dibagi raport kenaikan kelas
Aku tak mengerti sambil kutatap lekat
Wajahnya yang muram
Pada siang yang terik,kabar itu kuterima
Sesosok jenazah belia membiru
Terbujur di kamar mayat sebuah rumah sakit
Seorang teman dekatnya
Memperkosa tubuh kanak-kanaknya
Hingga ia bingung menyembunyikan
Perutnya yang buncit
Tuhan,tangan siapa yang memijit paksa
Rahim rapuh miliknya
Libur sekolah usai
Kutatap bangkunya yang kosong
Tak ada lagi ia disana
Dengan seragam putih abu
Duka tiba-tiba datang dadaku sesak
Sekarang aku mengerti
Mengapa wajahnya muram.




Matahari di Tembok

Matahari di tembok
Mengukir cahaya yang lenyap itu
Aku membaca kata dan nama
Berdebar sepanjang senja
Mengapa wajahmu begitu hidup di tembok
Wajahmu itu
Wajah yang dirahasiakan sejarah.



Anakku

Selalu ingin ku tulis puisi untukmu,anakku
Ribuan huruf berdesakan di kepalaku
Tak pernah bisa kurangkai menjadi kata
Segala tentangmu,menjadikanku murid
Yang tak pernah pandai membaca ilmu
Saat sesuatu bisa kupahami, engkau menjelma
Menjadi ribuan kalimat yang tak bisa
Selesai aku baca
Tuhan menjadikanmu buku
Yang harus selalu aku pelajari.




Kau

Hari ini kau kembali dalam diriku seperti bintang di langit itu......sesuatu yang ada diantara kerdip dan hilang, yang selalu muncul pada titik-titik dimana lupa menyiapkan kekosongan....