Rabu, 23 September 2020

Kisah Pergi Haji Zaman Kolonial

Berbagai arsip yang mendokumentasikan pola komunikasi pada era kolonialisme Belanda di Nusantara menunjukkan pemerintahan penjajah memantau secara melekat aktifitas ibadah haji muslim Indonesia.

Profesor Charles Jeurgens dari Universitas Leiden, Belanda, dalam satu pernyataan, membahas temuan itu di Universtas Australia Barat (UWA), Perth, dengan menjelaskan, pemerintahan kolonialis Belanda khawatir mereka yang pergi haji akan membawa semangat perlawanan terhadap kolonialisme.

“Belanda mencoba mengendalikannya,” ujar pria yang fokus penelitiannya melihat pola transfer informasi era kolonial Belanda.

sejarawan Dien Majid dalam buku Berhaji di Masa Kolonial misalnya, mengisahkan si Gapoeng alias Halimatusa’diyah yang berlayar menuju Makkah menggunakan kapal Samoa—kapal angkut milik J.G.M Herklots, salah satu agen haji di masa itu—pada 1893 mesti kehilangan suami dan harta bendanya karena diterjang badai.

“… Kira-kira soedah 7 hari berlajar satoe malam dapat angin besar sampei hampir-hampir terbalik kapal itoe dan ajer masuk kadalam kapal sampai pagi-pagi di tjari saja poenja laki tiada lagi dan barang-barang saja itoe joega semoea soedah habis roepanja djatoeh masok laoet…”

Peti besar berisi pakaian, 21 karung goni berisi perbekalan, dan uang tunai 150 Gulden habis ditelan badai semalam yang juga menewaskan suaminya. “Makanan selama dalam kapal djikaloe ada orang jang soedah dapat nasi jang ada kasihan, dia beri sedikit-sedikit baharoe saja makan. Kalo tiada kasihan orang-orang itoe tiadalah saja makan.”

Diketahui kemudian bahwa kapal yang digunakan Herklots saat itu merupakan kapal pengangkut batu bara dan tidak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, Herklots mendapat kritik dari agen-agen haji lainnya.

Menurut M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), perjalanan haji pada masa itu tidak dapat dipisahkan dari aktivitas perdagangan dan diplomatik. Orang-orang dari Nusantara yang berkesempatan melakukan ibadah haji untuk pertama kalinya bukanlah jemaah haji murni, melainkan para pedagang. Lainnya merupakan utusan sultan dan para musafir penuntut ilmu. Kebanyakan dari mereka menetap lama di Semenanjung Arab sembari menanti bulan haji (hlm. 105).

Pertumbuhan agama Islam yang bermula di Pasai sejak abad ke-7 memunculkan minat studi Islam di Nusantara. Para penuntut ilmu dari berbagai daerah berdatangan untuk berpartisipasi dalam lembaga pendidikan Islam di Pasai. Tidak sedikit pula di antara mereka yang melanjutkan studi ke Haramain sambil melaksanakan ibadah haji.

Mereka yang berhasil menuntaskan pendidikan kemudian kembali ke tanah kelahiran untuk mendirikan pusat studi keagamaan yang sama. Demikian pula tradisi mencari guru hingga ke Hijaz melahirkan banyak ulama dan syekh terkemuka di Nusantara abad ke-17.

Shaleh Putuhena menuliskan di antara mereka yang tercatat beribadah haji sambil melanjutkan pendidikan terdapat nama Muhammad Yusuf (1626-1699) atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Yusuf. Setelah melaksanakan ibadah haji, Syekh Yusuf pernah singgah di Madinah untuk menuntut ilmu di Masjid Nabawi. Ia dikenal sebagai ulama berpengaruh di Kerajaan Gowa dan pernah menetap di Banten untuk melawan VOC.

Seperti halnya perjalanan Syekh Yusuf, lanjut Putuhena, perjalanan jemaah haji di masa kolonial lebih banyak dilakukan secara sporadis. Biasanya mereka melakukan pelayaran secara bersama-sama dengan menumpang kapal dagang. Ada yang memutuskan menetap di Haramain dan ada yang kembali.

Ada pula yang mengaku sudah menunaikan haji, tapi tak bisa dipastikan kebenarannya. Pada 21 April 1716, misalnya, pelabuhan Batavia menerima 10 orang dari berbagai etnis yang mengaku jemaah haji. Meskipun datang bergelar haji, tidak diketahui kapan mereka berangkat ke Makkah.

Pemerintah Kolonial Turun Tangan Keberangkatan jemaah haji dari Hindia Belanda menjadi lebih terorganisasi memasuki abad ke-19. Para syekh dari berbagai daerah muncul sebagai “biro perjalanan” yang mengatur pemberangkatan calon jemaah dari wilayah mereka. Selain menyiapkan rute, para syekh juga menyediakan kapal khusus jemaah haji yang dapat menampung sampai ratusan orang.

Pada 1825 sekitar 200 orang dari berbagai karesidenan datang melapor kepada polisi. Mereka membawa kabar bahwa akan diadakan perjalanan ibadah haji dengan menumpang kapal khusus bernama Magbar yang disediakan Syekh Umar dari Bugis.

Peristiwa ini, menurut M. Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), cukup membuat pemerintah Hindia Belanda kaget. Ini karena jumlah peserta haji yang datang melebihi tahun-tahun sebelumnya. Dengan alasan keselamatan, pemerintah kolonial kemudian menetapkan langkah politik untuk mengatur kepergian dan kepulangan jemaah haji (hlm. 82-84).

Faktanya, alasan keselamatan bukanlah satu-satunya. Menurut pandangan pemerintah, lanjut Dien Majid, kelompok kecil yang mulai getol megorganisasi keberangkatan haji berpotensi membentuk golongan tak bekerja yang mengantarkan kepada fanatisme.

Ketakutan ini merujuk pada sejarah tradisional Banten yang menuturkan kisah perjalanan haji Sunan Gunung Jati yang dilalui dengan cara gaib dan cenderung keramat bagi rakyat kecil. Karena itu pemerintah merasa perlu mengawasi siapa saja dan berapa jumlah orang yang naik haji.

“Gambaran ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah kolonial menganggap mereka yang telah menunaikan ibadah haji sebagai suatu ‘golongan pendeta’ […] dan dengan demikian sangat terpandang di mata penduduk,” kata Jacob Vredenbergt dalam tulisannya, “Ibadah Haji: Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia”, yang dimuat dalam Indonesia dan Haji: Empat Karangan di Bawah Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein (1997: 8). “Hal ini akan menyebabkan pembentukan golongan yang memiliki waktu luang, dan memanfaatkan wibawa mereka di tengah rakyat untuk menentang pemerintah.”

Merespon laporan dari 200 orang tersebut, pemerintah mengeluarkan Resolusi pada 1825. Seperti yang sama-sama dicatat Shaleh Putuhena dan Dien Majid, isinya adalah pemerintah Hindia Belanda memberi izin kepada 200 jemaah haji untuk berlayar ke Makkah menggunakan kapal Magbar. Syaratnya: para jemaah haji wajib dibekali paspor haji dan harus membayar ongkos naik haji sebesar f110.

Kebijakan yang Gagal

Seiring berlalunya waktu, Resolusi 1825 mulai dianggap usang. Kriteria-kriteria haji yang ditetapkan pemerintah tak lagi diindahkan. Banyak jemaah haji yang memilih berangkat ke Makkah menggunakan agen pelayaran yang dikelola para syekh dari Singapura dan Malaka. Para Syekh ini dikenal memiliki hubungan dekat dengan syekh-syekh asal Semenanjung Arab dan menerima sejumlah premi atas jasa mereka mengangkut jemaah haji.

“Bagi banyak jemaah perjalanan melalui semenanjung Malaya dan Singapura juga merupakan kesempatan bagus untuk menghindari pengawasan paspor (dan vaksinasi) pihak pemerintah Hindia-Belanda,” tulis Vredenbergt.

Tak jarang pula ada yang menyalahgunakan gelar haji dengan menghentikan perjalanan hajinya di Singapura, lalu kembali ke Hindia Belanda sambil mengaku haji. Saat itu orang-orang lazim menyebut mereka sebagai “haji Singapura”.

Keadaan tersebut merugikan pemerintah, baik dari segi ekonomi maupun politik. Menurut catatan Dien Majid, akibat kejadian yang berlarut-larut itu kebijakan haji di Hindia Belanda direvisi berkali-kali sepanjang hampir seratus tahun, mulai dari 1825 sampai 1922.

Di Hindia Belanda, pengelolaan haji dilakukan oleh Gouverneur Generaal Nederlandsch Indie (GGNI) dan Algemeene Secretaris (Sekretariat Umum). Selain bertugas mengeluarkan paspor, kedua departemen ini juga bertugas mengatur kapal haji. Di saat bersamaan, maskapai Inggris juga mulai terlibat dalam pengangkutan jemaah haji.

Berkat keterlibatan Belanda dan Inggris, sejak paruh kedua abad ke-19, jemaah haji tidak lagi berangkat menggunakan kapal layar milik para syekh, tetapi diangkut menggunakan kapal uap.

Di samping bidang angkutan, pengaturan kuota haji juga semakin tampak di tahun 1872. Kala itu pemerintah Belanda mulai membuka konsulat di Jeddah yang khusus menangani administrasi dan izin tinggal jemaah haji dari Hindia Belanda di Makkah. Dari sinilah total jumlah jemaah haji yang berangkat setiap tahun mulai terpantau.

Jacob Vredenbergt mengikhtisarkan angka kuota jemaah haji dari 1873 sampai 1899 melalui data yang terangkum dalam Koloniaal Verslag. Menurut data yang dipaparkan, setidaknya sudah ada 19 wilayah di Hindia Belanda yang memberangkatkan calon jemaah haji secara rutin setiap tahun. Daerah-daerah yang paling banyak memberangkatkan jemaah haji sepanjang tahun-tahun tersebut antara lain: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Palembang, Sumatra Barat, dan Kalimantan Tenggara.

Akan tetapi, menurut Vredenbergt, data yang tersedia tidaklah akurat. Terdapat banyak perbedaan antara data yang dilaporkan konsulat di Jeddah dengan Koloniaal Verslag. Kuat dugaan masih ada banyak sekali jemaah haji yang tidak terdata atau pergi tanpa surat-surat resmi.

J.G.M Herklots merupakan salah satu generasi pertama biro perjalanan haji yang dilibatkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengurusi perjalanan dari Nusantara ke Makkah. Selain Herklots, ada pula Borneo Company Limited, Rotterdam Lloyd dan Ocean, Firma Gellatly Henkey Sewell & Co, Firma Aliste, Jawa & Co. Agen-agen haji ini tergabung dalam wadah bernama Kongsi Tiga.

Keberadaan agen haji ini dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengeruk keuntungan dengan memungut biaya tinggi sebesar 110 Gulden. Di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu, para calon jemaah haji didata oleh pemerintah kolonial dan harus memiliki dokumen perjalanan resmi atau paspor dari bupati setempat.

Secara tak resmi, pemerintah kolonial meminta para bupati itu untuk menghambat arus lonjakan jemaah haji dengan berbagai syarat. Caranya, tak cuma melaporkan biaya perjalanan, para calon jemaah haji juga harus memastikan bahwa ia memiliki uang yang cukup untuk keluarganya selama si calon jemaah pergi berhaji.

Sepulang dari Makkah, para jemaah ini juga harus melapor dan mengikuti serangkaian tes terlebih dulu sebelum resmi menyandang gelar haji. Jika tidak melapor maka si jemaah akan dikenai denda sebesar 25-100 Gulden. Jika ia dinilai gagal dalam tes, maka si jemaah tidak diperbolehkan menggunakan gelar haji ataupun berpakaian seperti haji.

Penipuan

kelompok warga Cilegon, melayangkan sebuah surat protes pada Gubernur Jenderal di Batavia. Isinya soal kongkolikong Johanes Gregorius Marinus Herklots alias J.G.M. Herklots, bos agen perjalanan haji The Java Agency, dengan Wedana Cilegon bernama Entol Goena Djaja. Untuk menjaring jamaah haji sebanyak-banyaknya, perusahaan haji itu menggunakan jasa pejabat lokal dan keluarga mereka sebagai tenaga pemasaran. Hadiahnya: pejabat itu plus keluarganya diberi tiket gratis ke Mekah.

Tergiur dengan tiket haji gratis, para pejabat ini memakai kekuasaannya: memaksa rakyat yang hendak pergi haji untuk menggunakan perusahaan Herklots. Yang tak menggunakan perusahan itu, ditahan pas-nya (izin jalan, semacam paspor). Karena takut terhadap penguasa, dengan terpaksa banyak orang naik kapal Herklots sesuai perintah.

Dengan kongkolikong macam ini, pada musim haji 1893, Herklots berhasil menjaring lebih dari 3.000 jamaah dari, menurut J. Vrendenbregt dalam The Haddj merujuk data Indisch Verslag, keseluruhan jamaah yang berjumlah 8.092 orang.

Gubernur Jenderal, yang sudah menerima banyak keluhan soal kebusukan agen haji milik J.G.M Herklots, menerima surat ini pada pertengahan Juni 1893. Isinya, sebagaimana dikutip dari buku Berhaji Di Masa Kolonial karya Dien Majid, antara lain: “…semoea toeroet Entol Goena Djaja soedah berdjanji sama itoe toean agen Herklots, dia poenya anak (Entol Hadji Moestafa) dan mertoea (Hadji Karis) pegi di Mekkah dengan pordeo tida bajar ongkos kapal, makan dan minoem djoega pordeo dan djoega misti dapat kamar, tapi banjak sekali orang-orang jang dari district Tjilegon tida seneng menoempang di itoe kapal/agen toean Herklots, melaenkan dia orang takoet sama Kapala District Tjilegon Wedana Entol Goena Djaja…”

Gubernur Jenderal juga menerima somasi dari Konsul Belanda di Jedah tentang pungutan liar yang dilakukan agen haji Herklots. Jamaah harus membayar tiket pulang yang telah ditetapkan f.95 plus f.500 sebagai jasa bagi Herklots. Konsul memohon Gubernur Jenderal supaya mendeportasi Herklots dan mengadili kejahatannya. Meski perbuatan Herklots dikategorikan melanggar hukum tapi Gubernur Jenderal tak punya wewenang untuk mendeportasi Herklots.

Menurut Dien Majid, Konsul Belanda di Jedah lantas melobi Gubernur Jedah Ismail Haki Pasha supaya mendeportasi Herklots. Pasha tak bisa mengabulkannya dan bilang, “Herklots di sini hanya sibuk bekerja untuk melaksanakan penanganan keagamaan.”

Usaha keras Konsul untuk mendeportasi dan mengadili Herklots tak mempengaruhi bisnis haji Herklots secara keseluruhan. Herklots masih leluasa menjaring calon haji dan menebarkan tipu-tipu yang lebih parah.

Penampakan Pergi Haji Tempo Doeloe Penampakan Pergi Haji Tempo Doeloe

Pengalaman R. Adiningrat, residen Cirebon, bisa jadi contoh. Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893, sebagaimana dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruknya menggunakan agen Herklots. Saat membeli tiket, Adiningrat dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.”

Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba.

J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air.

Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya.

Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai.

Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit.

Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal, “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal…”

Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar