Rabu, 28 Juni 2023

Kisah Haji Nusantara




Lebaran Idul Adha atau lebaran kurban berangkai dengan proses haji. Mereka yang pulang dari Tanah Suci di waktu itu lalu mendapat sematan haji.

Kisah sematan haji memang lebih dikenal sejak masa penjajahan Belanda, padahal maknanya lebih besar. Lalu, haji kecil, apa itu? 

Begini kisahnya.

"Kisah Haji Nusantara", tradisi meletakkan gelar "haji" atau "hajjah" di depan nama orang Indonesia usai menunaikan ibadah haji.

Tradisi itu sah-sah saja. Salah satu alasannya adalah sejak masa silam, perjalanan menuju Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah perjuangan berat tersendiri, harus mengarungi lautan, menerjang badai berbulan-bulan, menghindari perompak, hingga menjelajah gurun pasir.

Seorang yang berhasil melalui ujian tersebut, dan berhasil kembali selamat ke Tanah Air, kemudian dianggap berhasil mendapat anugerah dan kehormatan, apalagi Ka'bah dan Mekkah adalah kiblat suci umat Islam sedunia.

Itu mengapa dalam perkembangannya lazim di Indonesia ada pemberian gelar bagi jemaah haji usai menunaikan ibadah di Tanah Suci. Masyarakat menambahkan kata haji atau hajjah saat menyebut nama mereka

Penyebutan haji di kawasan Islam Melayu

Bahwa tradisi seperti itu sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di dunia Islam Melayu bagian lain juga begitu, baik Malaysia, Singapura, Brunei, dan bahkan Thailand Selatan.

Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, gelar haji dinilai penting dan membanggakan, mencerminkan status sosial tertentu. Menurut Dadi, tradisi penyematan gelar ini bisa dilihat dari tiga perspektif.

Pertama, secara keagamaan, haji adalah perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang semakin penting dan tidak semua orang bisa lakukan.

Untuk itulah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukan ibadah haji.

Haji di masa Belanda

Sejak awal abad 20, industri perjalanan haji semakin besar. Sejumlah perusahaan kapal Belanda juga turut serta di dalamnya. Jemaah haji Nusantara pun semakin besar jumlahnya.

Perjalanan haji relatif lebih mudah dan cepat, tapi gelar haji tetap digunakan dan bahkan semakin popular.

Kedua, secara kultural, narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji.

Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Cerita-cerita ini terus bersambung hingga kini sehingga menjadi semacam genre tersendiri sebagai memoir.

Hal-hal inilah yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi.

Ketiga, dari perspektif kolonial, penyematan gelar haji juga punya ceritanya tersendiri. Dulu, karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji, dengan berbagai cara.

Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872. Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah.

Oman menambahkan bahwa tradisi menyematkan gelar haji di depan nama, tentu jangan sampai merusak keikhlasan berhaji.

Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji.

Haji kecil

Menyitir Haji kecil adalah nama lain dari umrah. Haji dan umrah adalah dua ibadah berbeda yang memiliki nama lain yang sama sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha.

Jika Idul Fitri hadir dengan istilah lain al-'idul ashghar (id kecil), dan Idul Adha dengan istilah al-'idul akbar (id besar), maka ibadah haji pun dikenal dengan nama lain al-hajjul akbar (haji besar) dan umrah dengan nama al-hajjul ashghar (haji kecil).

Istilah ini sudah ada sekitar 14 abad silam, disebut oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah riwayat Abdullah bin Abu Bakr, bahwa ia pernah menulis sebuah surat kepada 'Amr bin Hazm.

Pada lembaran itu tertulis, Annal 'umrata hiya al-hajjul ashgharu (Ibadah umrah sejatinya adalah haji kecil (al-Umm, juz 2, hal. 145). Hal ini tentu untuk menjawab kegelisahan umat tentang apa sebenarnya umrah tersebut, sekaligus sebagai kelanjutan atas keterangan bahwa inti ibadah haji yang membedakannya dengan yang lain adalah wukuf di Arafah.

Sehingga umrah yang tanpa wukuf ini, di samping memiliki cara pelaksanaan yang sama, disebut sebagai "haji kecil".

Tidak banyak ulama yang mendefinisikan umrah. Mereka rata-rata mendefinisikan haji. Karena mungkin bagi mereka cukup dengan mendefinisikan haji, umrah pun ikut. Hanya saja, di dalamnya nanti diterangkan ihwal wukuf di Arafah sebagai pembeda antara haji dan umrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar