Kamis, 28 Mei 2020

Asal Usul Garam


Sebagian dari kita mungkin pernah bertanya-tanya mengapa air laut rasanya asin. Padahal dalam ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa laut merupakan muara dari aliran sungai yang rasanya tawar.

Ternyata, rasa asin itu tidak luput dari peran Nabi Ibrahim as sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Ahmad Syihabuddin Al-Qalyubi.

Konon, Nabi Ibrahim as ingin sekali memberi hadiah kepada umatnya Nabi Muhammad sebagai bentuk cinta kepada penutup para nabi tersebut.

Nabi Ibrahim berharap ia bisa menjamu Nabi Muhammad sampai hari kiamat dengan sesuatu yang bermanfaat.

Keinginan Nabi Muhammad itu pun diadukan kepada Allah Swt.

Allah pun menjawab, "Engkau tidak akan mampu wahai Ibrahim."

Nabi Ibrahim yang bersikeras berkata lagi, "Engkau lebih tahu dengan keadaanku serta memiliki kuasa untuk mengabulkan keinginanku ini."

Atas permohonan Nabi Ibrahim yang berserah diri itu akhirnya Allah mengabulkannya.

Dengan segenap kehendak Allah, malaikat Jibril diutus oleh-Nya untuk mengambil segenggam kapur dari surga.

Malaikat Jibril lalu membawa kapur tersebut ke Jabal Abi Qubais di Makkah dan menaburkannya ke seluruh bumi. Tempat-tempat yang terkena taburan itu lalu menjadi asin (mengandung garam) termasuk air laut.

hikmah dari apa yang dilakukan Nabi Ibrahim tersebut adalah bahwa kita sudah selayaknya memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya terlebih ketika menjamu tamu.

Nabi Ibrahim sendiri dikenal sebagai orang yang mengajarkan menjamu tamu seperti apa yang dikatakan Rasulullah saw dalam hadisnya.

Rasulullah bersabda, “Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrahim." (Lihat Ash-Shahihah, 725).

Selain itu Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya.” 



Rabu, 20 Mei 2020

Kisah Nabi Yunus - Pengetahuan

Nabi Yunus alaihisalam (AS) ibnu Mata as diutus oleh Allah kepada penduduk kota Nainawi, yaitu suatu kota besar yang terletak di negeri Mausul (Mosul), Irak. Kisah mengenai Nabi Yunus ini disebutkan di dalam beberapa surat dalam Alquran, yakni Surat Al Anbiya, Yunus, Ash-Shaffat dan Nun.

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَۚفَاسْتَجَبْنَا لَهٗۙ وَنَجَّيْنٰهُ مِنَ الْغَمِّۗ وَكَذٰلِكَ نُـــْۨـجِى الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: "Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempit­nya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap. Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkan­nya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman". (QS. Al Anbiya: 87-88).

Dalam ayat tersebut dikisahkan Nabi Yunus menyeru mereka untuk menyembah Allah Swt, tetapi mereka menolak dan tetap tenggelam di dalam kekafirannya. Maka Yunus pergi meninggalkan mereka dalam keadaan marah seraya mengancam mereka bahwa dalam waktu tiga hari lagi akan datang azab dari Allah.

Setelah mereka melihat tanda-tanda datangnya azab itu dan mereka mengetahui bahwa nabi mereka tidak dusta dalam ancamannya, maka mereka keluar menuju ke padang sahara bersama anak-anak mereka dengan membawa ternak unta dan ternak lainnya milik mereka yang mereka pisahkan antara induk dan anaknya.

Kemudian mereka memohon kepada Allah dengan merendahkan diri, dan menyeru-Nya untuk meminta pertolongan, semua ternak unta dan anak-anaknya mengeluarkan suara lenguhan, begitu pula sapi dan anak-anaknya, dan juga kambing dan anak-anaknya. Akhirnya Allah tidak jadi menurunkan azab kepada mereka. Kisah ini disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ اٰمَنَتْ فَنَفَعَهَآ اِيْمَانُهَآ اِلَّا قَوْمَ يُوْنُسَۗ لَمَّآ اٰمَنُوْا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنٰهُمْ اِلٰى حِيْنٍ

"Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu. (Yunus: 98)

Sesudah itu Yunus as pergi meninggalkan kaumnya dan menaiki perahu bersama suatu kaum. Di tengah laut, perahu oleng; mereka merasa takut akan tenggelam (karena keberatan penumpang).

Maka mereka mengadakan undian di antara mereka untuk menentukan siapa yang bakal dilemparkan ke dalam laut untuk meringankan beban muatan perahu. Akhirnya undian jatuh ke tangan Yunus, tetapi mereka menolak, tidak mau melemparkannya. Lalu dilakukan undian lagi, ternyata kali itu undian jatuh ke tangan Yunus lagi. Mereka menolak, lalu mengadakan undian lagi. Ternyata undian jatuh ke tangan Yunus juga. Hal ini disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِيْنَۚ

"Kemudian ia ikut berundi, lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. (Ash-Shaffat: 141)

Yakni undian jatuh ke tangannya. Maka Yunus as melucuti pakaiannya dan menceburkan diri ke dalam laut. Saat itu Allah telah memerintahkan kepada ikan paus dari laut hijau —menurut apa yang diceritakan oleh Ibnu Masud- membelah lautan dan sampai di tempat Yunus, lalu menelannya saat Yunus menceburkan diri ke laut.

Allah telah memerintah­kan kepada ikan paus itu, "Janganlah kamu memakan secuil pun dari dagingnya, jangan pula mematahkan tulangnya, karena sesungguhnya Yunus itu bukanlah rezeki makananmu, melainkan perutmu Aku jadikan sebagai penjara buatnya."

Zun Nun adalah nama ikan paus itu menurut riwayat yang sahih, lalu dikaitkan dengan nama Nabi Yunus karena ia ditelan olehnya. Makna harfiyahnya ialah orang yang mempunyai ikan besar.Firman Allah Swt.: "ketika ia pergi dalam keadaan marah. (Al-Anbiya: 87)

Menurut Ad-Dahhak, Yunus marah terhadap kaumnya. lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). (Al-Anbiya: 87)

Ibnu Masud dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya mengatakan ikan paus itu membawa Yunus menyelam hingga sampai di dasar laut, lalu Yunus mendengar suara tasbih batu-batu kerikil di dasar laut. Maka pada saat itu juga Yunus mengucapkan:

"Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya: 87).

Ketika Yunus telah berada di dalam perut ikan besar, ia menduga dirinya telah mati. Kemudian ia menggerakkan kedua kakinya, ternyata bergerak, lalu ia bersujud di tempatnya, dan menyeru Tuhannya, "Wahai Tuhanku, saya jadikan di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh manusia ini tempat bersujud kepada Engkau."

Nabi Yunus tinggal di dalam perut ikan besar selama empat puluh hari. Rasulullah Saw. telah bersabda:"Ketika Allah hendak menyekap Yunus di dalam perut ikan besar, Allah memerintahkan kepada ikan besar untuk menelannya, tetapi tidak boleh melukai dagingnya dan tidak boleh pula meremukkan tulangnya. Setelah ikan besar sampai di dasar laut, sedangkan di perutnya terdapat Yunus.

Yunus mendengar suara, maka Yunus berkala dalam hatinya, "Suara apakah ini?” Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya, sedangkan ia berada di dalam perut ikan, bahwa suara itu adalah suara tasbih hewan-hewan laut. Maka Yunus pun bertasbih pula dalam perut ikan besar itu; suara tasbihnya terdengar oleh para malaikat. Maka mereka bertanya, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar suara (tasbih) yang lemah di kedalaman yang jauh sekali lagi terpencil.

”Allah berfirman, "Itu adalah suara hamba-Ku, Yunus. Dia durhaka kepada-Ku, maka Aku sekap dia di dalam perut ikan di laut.” Para malaikat bertanya, "Dia adalah seorang hamba yang saleh, setiap malam dan siang hari dilaporkan ke hadapan­Mu amal saleh darinya.” Allah berfirman, "Ya, benar.” Maka pada saat itu para malaikat memohon syafaat buat Yunus, akhirnya Allah memerintahkan kepada ikan besar itu untuk mengeluarkan Yunus, lalu ikan besar melemparkannya ke tepi pantai, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya, "Sedangkan ia dalam keadaan sakit." (Ash-Shaffat: 145)

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw.—menceritakan kisah berikut, "Bahwa Yunus a.s. ketika mulai memanjatkan doa berikut di dalam perut ikan, yaitu, "Ya Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang aniaya."

Maka doanya itu naik sampai di bawah Arasy, maka para malaikat bertanya, "Wahai Tuhanku, ada suara lemah yang telah dikenal bersumber dari negeri yang terasing." Allah berfirman, "Tidakkah kalian ketahui suara itu?" Mereka bertanya, "Tidak, wahai Tuhanku, siapakah dia?" Allah berfirman, "Dia adalah hamba-Ku Yunus."

Mereka berkata, "Hamba-Mu Yunus yang sampai sekarang masih tetap dilaporkan ke hadapan-Mu amalnya yang diterima dan doanya diperkenankan." Mereka berkata pula, "Wahai Tuhan kami, tidakkah Engkau merahmatinya berkat amal yang dikerjakannya di saat dia senang, karenanya Engkau selamatkan dia di saat mendapat cobaan?" Allah berfirman, "Baiklah," maka Allah memerintahkan kepada ikan besar itu agar memuntahkannya ke daerah yang tandus.

Firman Allah Swt.: "Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. (Al-Anbiya: 88)Yaitu Kami keluarkan dia dari dalam perut ikan dan dari kegelapannya. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (Al-Anbiya: 88)

Yakni apabila mereka berada dalam kesengsaraan, lalu berdoa kepada Kami seraya bertobat, terlebih lagi jika mereka mengucapkan doa yang disebutkan dalam ayat ini saat mendapat musibah. Di dalam hadis Nabi Saw. telah disebutkan anjuran untuk membaca doa ini di saat tertimpa musibah.

Sad ibnu Abu Waqqas mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: "Asma Allah yang apabila disebutkan dalam doa, pasti Dia memperkenankannya; dan apabila diminta dengannya, pasti memberi, yaitu doa Yunus ibnu Mata."



Kisah Saudah binti Zam'ah

SETELAH wafatnya Abu Thalib (paman nabi) lalu disusul Sang Istri Siti Khadijah, Rasulullah SAW dilanda kesedihan mendalam. Betapa tidak, keduanya merupakan orang yang dekat dan dicintai Rasulullah. Setelah meninggalnya Khadijah, Rasulullah tidak menikah selama satu tahun. (: Masya Allah, Mahar Nabi Kepada Khadijah Ternyata Rp1,3 Miliar)

Menurut Muhammad Hasan Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad, selama 28 tahun Nabi hanya beristerikan Siti Khadijah seorang, tiada yang lain.

Kondisi yang dialami Rasulullah membuat para sahabatnya turut sedih sehingga Khaulah binti Hakim yang tak lain istri Utsman bin Maz'un diutus menemui Rasulullah. Khaulah merupakan salah satu perempuan mukmin dan salehah.

Setelah bertemu dengan Rasulullah, Khaulah menyampaikan kesedihannya atas meninggalnya Siti Khadijah. Dia pun menanyakan kepada Rasulullah alasan belum menikah lagi. Rasulullah menjawab, "Apakah ada seseorang setelah saya setelah Khadijah?" kata Rasulullah. (: 11 Ramadhan, Hari Kesedihan Nabi Saat Ditinggal Wafat Istri Tercinta)

Mendengar pernyataan Rasulullah tersebut, Khaulah lalu menawarkan Saudah binti Zam'ah, perempuan yang lebih tua dari Rasulullah.

Rasulullah kemudian berkata, "Baiklah, pinanglah dirinya buatku!"

Saudah merupakan putri dari Zam'ah bin Qais dari Suku Quraisy. Beliau berasal dari keturunan Luiy, salah satu nenek moyang dari Rasulullah.

Ayah Saudah merupakan salah satu orang pertama yang memeluk Islam pada awal masa kenabian. Saudah pertama kali menikah, yaitu dengan sepupunya sendiri, Sakran bin Amr bin Abd Syams. Dari pernikahannya dikaruniai seorang putra bernama Abdurrahman. Saudah dan suaminya lalu memeluk Islam setelah dakwah Islam gencar dilakukan oleh Nabi SAW. Namun, suami Saudah meninggal ketika perjalanan dari Abyssinia ke Makkah atau kembali dari hijrahnya.

Mendapat tugas Rasulullah, Khaulah segera beranjak menuju kediaman Saudah. "Kebaikan dan berkah apa yang dimasukkan Allah kepadamu, wahai Saudah?" kata Khaulah ketika mereka bertemu.

Saudah balik bertanya karena tidak tahu maksudnya, "Apakah itu, wahai Khaulah?"

Khaulah menjawab, "Rasulullah SAW mengutus aku untuk meminangmu."

Saudah berkata dengan suara gemetar, "Aku berharap engkau masuk kepada ayahku dan menceritakan hal itu kepadanya."

Dan ayahnya yang sudah tua, sedang duduk-duduk santai. Khaulah memberinya salam, lalu si ayah berkata, "Apakah kau datang melamar pagi-pagi, siapakah dirimu?"

"Saya Khaulah binti Hakim," jawabnya.

Lalu ayah Saudah menyambutnya. Kemudian Khaulah berkata padanya, "Sesungguhnya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib meminang anak perempuanmu."

Ayah Saudah berkata, "Muhammad adalah seorang yang mulia. Lalu apa yang dikatakan oleh sahabatmu (Rasulullah)?"

"Dia menyukai hal itu," jawab Khaulah.

Kemudian ayah Saudah berkata, "Sampaikan padanya (Muhammad) agar datang ke sini!"

Kemudian Rasulullah SAW datang padanya dan menikahi Saudah.

Dari Ibnu Abbas diceritakan bahwa Nabi SAW meminang Saudah yang sudah mempunyai lima anak atau enam anak yang masih kecil-kecil.

Saudah berkata, "Demi Allah, tidak ada hal yang dapat menghalangi diriku untuk menerima dirimu, sedang kau adalah sebaik-baik orang yang paling aku cintai. Tapi aku sangat memuliakanmu agar dapat menempatkan mereka, anak-anakku yang masih kecil, berada di sampingmu pagi dan malam."

Rasulullah SAW berkata padanya, "Semoga Allah menyayangi kau, sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah mereka yang menunggangi unta, sebaik-baik wanita Quraisy adalah yang bersikap lembut terhadap anak di waktu kecilnya dan merawatnya untuk pasangannya dengan tangannya sendiri."

Pernikahan Nabi SAW dengan Saudah dilaksanakan pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian dan setelah kematian Siti Khadijah di Makkah. Dikatakan dalam riwayat lain tahun kedelapan Hijrah dengan mahar sekitar 400 dirham. Rasulullah kemudian mengajaknya berhijrah ke Madinah.

Menurut Haekal, tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.

Melainkan soalnya ialah, Saudah adalah isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu.

Saudah juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Rasulullah kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm'l-Mu'minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.

Beri Jatah ke Aisyah

Setelah Saudah semakin tua, dia mengetahui kedudukan Aisyah di mata Rasulullah. Dia berkata, "Wahai Rasulullah, aku memberikan jatah satu hari untukku pada Aisyah, agar engkau dapat bersamanya dalam satu hari itu."

Ketika bersama Saudah, Nabi menerima ayat tentang hijab dan hal itu dikarenakan istri-istri Nabi SAW keluar pada malam hari menuju ke dataran tinggi di bukit-bukit. Kemudian Umar bin Al-Khathab berkata pada Nabi SAW, "Wahai Nabi, berilah perintah agar istri-istrimu berhijab."

Namun, tidak jua Nabi melakukan apa yang disarankan Umar. Kemudian ketika Saudah keluar pada malam hari untuk menunaikan makan malam, dan dia adalah seorang wanita yang cukup tinggi. Kemudian Umar memanggilnya dan berkata, "Wahai Saudah, sekarang kami tahu itu engkau untuk memberi motivasi agar memanjangkan hijab yang kau kenakan." Kemudian Allah menurunkan ayat hijab.

Saudah dikenal sebagai orang yang suka bersedekah. Umar bin Khathab pernah mengirim sekantung penuh dengan dirham padanya. Kemudian Saudah bertanya, "Apa ini?"

Mereka berkata, "Dirham yang banyak."

Lalu Saudah berkata, "Dalam kantung seperti setandang kurma, wahai jariyah, yakinkan diriku." Kemudian dia membagi-bagikan dirham tadi.

Aisyah berkata, "Bahwa sebagian isteri-isteri Nabi SAW berkata, "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang paling cepat menyusulmu ?"

Nabi SAW menjawab, "Yang terpanjang tangannya di antara kalian."

Kemudian mereka mengambil tongkat untuk mengukur tangan mereka. Ternyata, Saudah adalah orang yang terpanjang tangannya di antara mereka. Kemudian kami mengetahui, bahwa maksud dari panjang tanganya adalah suka sedekah. Saudah memang suka memberi sedekah dan dia yang paling cepat menyusul Rasulullah di antara kami." (HR Syaikhain dan Nasai)

Saudah juga memiliki akhlak yang terpuji. Aisyah, Ummul Mukminin, pernah berkata, "Tiada seorang pun yang lebih aku kagumi tentang perilakunya selain Saudah binti Zam’ah yang sungguh hebat."

Saudah meriwayatkan sekitar lima hadis dari Rasulullah SAW. Dan beberapa sahabat turut meriwayatkan darinya seperti, Abdullah bin Abbas, Yahya bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sa’ad bin Zarah Al-Anshari. Abu Daud dan Nasa’i juga menggunakan periwayatan darinya.

Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54, pada masa kekhalifahan Muawiyah.

Ketika mendengar Saudah meninggal dunia Ibnu Abbas bersujud. "Rasulullah SAW berkata, bila kau melihat suatu ayat, maka bersujudlah kalian, dan ayat yang paling agung daripada emas adalah para istri Nabi SAW," kata Ibnu Abbas.

وَلَقَدۡ فَتَـنَّا الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِهِمۡ‌ فَلَيَـعۡلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ صَدَقُوۡا وَلَيَعۡلَمَنَّ الۡكٰذِبِيۡنَ

Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.


Senin, 18 Mei 2020

Doa Rasulullah Kepada Abu Bakar

Abu Bakar RA pernah meminta diajari doa Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku sebuah doa yang bisa kupanjatkan dalam sholatku."

Rasulullah SAW menjawab, "Ucapkanlah, Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira wa laa yaghfirudz dzunuba illa anta faghfirli min 'indika maghfiratan innaka antal ghafurur rahim (Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menzhalimi diri sendiri dan tidak ada yang mampu mengampuni dosa melainkan Engkau, maka berilah ampunan kepadaku dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau maha pengampun dan maha penyayang)

(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari, nomor 6839)

Kamis, 14 Mei 2020

Kisah Umar Bin Khatab

Peristiwa terbunuhnya Umar bin Khattab terjadi di waktu fajar pada 26 dzulhijjah 23 H. Dan, dalam kondisi yang menyayat hati dan mengenaskan.

Secara singkat soal terbunuhnya Umar, diriwayatkan bahwa dia dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak saat Umar akan memimpin sholat Subuh di masjid. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam seteleh negerinya ditaklukkan Umar.

Pembunuhan ini dilatarbelakangi dendam pribadi Fairuz kepada Umar. Di mana, negerinya telah ditaklukkan Umar.

Dalam keadaan sekarat, Umar bin Khattab dibawa oleh orang-orang dari masjid ke rumahnya. Sesampainya dirumah, Umar dibaringkan.

Salah satu yang diingat dalam sejarah menjelang kematian Umar adalah soal permintaannya di mana akan dimakamkan. Dalam keadaan sekarat, Umar menyuruh anaknya, Abdullah bin Umar untuk menyuruhnya pergi ke rumah Ummul Mukminin, Aisyah, yang merupakan istri Rasulullah SAW.

"Sekarang berangkatlah ke rumah Aisyah ummul mukminin dan katakan, Umar menyampaikan salam kepadanya dan jangan kamu katakan salam dari Amirul Mukminin. Sebab sejak hari ini saya tidak lagi menjadi Amirul Mukminin. Sampaikan pula kepadanya, bahwa Umar bin Khattab, memohon diizinkan dimakamkan tepat di samping kedua sahabatnya," kata Umar ke anaknya.

Setelah mendengar pesan ayahnya, Abdullah pamit berangkat ke rumah Aisyah. Sesampainya di depan pintu rumah Aisyah, Abdullah bin Umar meminta izin masuk.

Dia pun diizinkan masuk. Di sana, dia mendapati Aisyah sedang duduk menangis. Abdullah bin Umar berkata, "Umar bin Khattab mengucapkan salam untukmu dan dia minta izin agar dapat dimakamkan di samping kedua sahabatnya."

Aisyah menjawab, "Sebenarnya saya juga menginginkan agar tempat tersebut menjadi persemayaman terakhirku kelak, sewaktu meninggalkan dunia ini. Tetapi sayang, hari ini saya harus mengalah untuk Umar."

Ketika Abdullah bin Umar kembali ke rumahnya, maka ada yang mengatakan, "Lihatlah Abdullah bin Umar sudah sampai."

Umar berkata, "Angkat saya!"

Salah seorang menyandarkan Umar ke tubuh anaknya Abdullah bin Umar. Umar bertanya, "Nak, apa berita yang engkau bawa?"

Abdullah menjawab, "Sebagaimana yang ayahanda inginkan, wahai Amirul Mukminin, Aisyah telah mengizinkan dirimu."

Umar berkata, "Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain ini. Setelah saya meninggal dunia, bawahlah jenazahku ke sana dan katakan, "Umar bin Khattab minta izin untuk masuk. Jika dia memberikan izin, maka bawalah saya masuk. Tetapi seandainya dia menolak, maka makamkanlah jenazahku di pemakaman kaum Muslimin."

Umar kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau kemudian wafat.

Setelah semuanya siap, orang-orang menggotong jenazahnya dengan berjalan kaki. Setelah sampai ke dekat persemayaman kedua sahabatnya, Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada Aisyah, dan berkata, "Umar bin Khattab meminta izin masuk."

Aisyah menjawab, "Bawalah dia masuk."

Maka jenazah Umar dibawa masuk dan dimakamkan di samping kedua sahabatnya.

Jumat, 01 Mei 2020

Cara Rasulullah Berbicara

Berdasarkan beberapa riwayat, menguraikan beberapa cara Nabi dalam berbicara.

Pertama, pelan-pelan atau tidak tergesah-gesah. Ini sesuai dengan ungkapan, “Tergesah-gesah merupakan perbuatan setan, dan tenang berasal dari Allah.”

Kedua, memilih diksi kata yang jelas sehingga bisa dipahimi lawan bicara. Salah satu sifat beliau adalah tabligh. Yaitu yang mempunya kemampuan untuk membicarakan sesuatu denganbjelas dan mengena hati pembicara.

Ketiga, berkata dengan perkataan yang tegas. Tidak bertele-tele dan tak ambigu sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dari lawan bicara.

Ini sesuai dengan riwayat ‘Aisyah yang mengatakan, “Rasulullah SAW tidak berbicara cepat sebagaimana bicara kalian ini. Namun beliau berbicara dengan kata-kata yang jelas dan tegas, hingga orang yang duduk bersama beliau dapat menghafalnya.” (HR. Tirmidzi)

Keempat, mengulangnya sebanyak tiga kali agar bisa dipahami. Ini sesuai dengan penuturan Anas bin Mali Ra., “Rasulullah SAW suka mengulang kata-kata yang diucapkannya sebanyak tiga kali agar dapat dipahami.” (HR. Tirmidzi)

Kalau diperhatikan dalam banyak haditsnya, beliau memang sering mengulang-ngulang perkataannya agar mudah dipahami. Meski begitu, tidak dalam semua pembicaraan. Itu semua kembali kepada kondisi lawan bicara.

Kelima, membuka dan menutup perkataannya dengan bismillah. Dengan bismillah, pembicaraan yang pada asalnya hanya bernilai dunia, lebih bermakna dan bernilai akhirat.

Keenam, berbicara dengan kalimat singkat yang padat maknanya. Dalam istilah hadits disebut “Jawāmi’ul-Kalim” (kata singkat tapi padat makna).

Ketujuh, pembicaraan beliau rinci dan pas. Tidak lebih dan kurang sesuai dengan keperluan. Bahasa kita mungkin tidak lebay.

Ini sesuai dengan hadits beliau, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ketika meninggalkannya apa yang tidak bermanfaat baginya.” Termasuk dalam berbicara. Pada riwayat ini dijelaskan, beliau lebih banyak berpikir dan irit bicara kalau tidak perlu.

Kedelapan, tidak kasar (lemah lembut). Padahal, orang Arab pada saat itu terbiasa berbicara kasar.

Kesembilan, tidak keluar kata celaan pada kalimatnya. Dalam riwayat lain misalnya, kalau terpaksa harus menegur biasanya menggunakan kata-kata sindiran yang sifatnya tidak menyakiti lawan bicaranya.

Kesepuluh, mengekspresikan kata-katanya dengan anggota tubuh. Misalnya kedua tangannya. Ini menunjukkan ketika berbicara beliau lakukan dengan ekspresi yang bisa memantik simpati lawan bicara. Ini sesuai dengan cerita Hind bin Abi Halah yang mendapatkannya dari Hasan bin ‘Ali Ra.


Kisah Ranting Kayu

Pedang yang diberi nama Al Aun itupun menjadi pedang yang selalu menemani Ukasyah dalam berbagai perang setelah Perang Badar.

Kisah menggambaran sejumlah kejadian luas biasa yang Allah berikan kepada Rasulullah Muhamma SAW sebagai bukti status kenabian.

Kala itu perang Badar pecah pada 17 Ramadan 2 H, umat muslim yang berjumlah 300 orang melawan kaum kafir yang berjumlah ribuan orang.

Dalam Perang Badar itu, seoorang pahlawan Islam bernama Ukasyah bin Mihshan bin Harsan Al-Asadi, bertempur habis-habisan sampai pedangnya patah. Melihat kejadian itu, Nabi Muhammad menghampirinya dan memberikan pengganti pedangnya yang patah dengan sepotong ranting kayu.

Namun, atas kuasa Allah SWT, setelah Rasulullah menggerakkan ranting kayu itu tiba-tiba berubah menjadi pedang panjang dan kuat. Lalu Ukasyah pun melanjutkan bertempur dengan mukjizat pedang pemberian Rasulullah, hingga kaum Muslim memperoleh kemenangan.

Pedang yang diberi nama “Al Aun” itupun menjadi pedang yang selalu menemani Ukasyah dalam berbagai perang setelah Perang Badar. Salah satunya Ukasyah menggunakan pedang dari ranting pemberian Nabi Muhammad SAW pada menjemput syahidnya di Perang Riddah.

Kemudian, mukjizat lain yang terjadi di perang badar para malaikat ikut terjun ke Perang Badar. Allah SWT menurunkan malaikat dari langit dengan mengenakan tanda di kepala. Panglima para malaikat kala itu adalah malaikat Jibril, sedangkan panglima tentara perang Muslim Nabi Muhammad SAW.

Salah seorang pasukan muslim menuturkan, "Pada hari berkecamuknya Perang Badar, aku mendengar malaikat yang mengenakan sorban berwarna putih berseru 'Majulah Haizum!' (Ibnu al Atsir menerangkan dalam an Nihayah bahwa Haizum adalah nama kuda malaikat Jibril).

Allah SWT berfirman, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘SesungguhnyaAku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut,” (QS. Al-Anfal [8]: 9).