Sabtu, 16 September 2017

Tentang Memasak

Aku takut, saat aku salah menaburkan garam ternyata adalah gula..
Aku takut minyak ini jadi emosi dan menggosongkan hasil karyaku
Saat aku berencana membuat mie goreng akhirnya jadi mie campur nasi goreng..
Orang bilang itu masakan magelangan...
Dan aku selalu lebih teliti mencuci sayuran nakal..
Dia jatuh kelantai sebelum gilirannya masuk ke penggorengan..
Aku takut dagingnya tidak matang,
Dan rajin membolak baliknya dengan doa "Agar daging cepat matang" ,
Sebelum ada yang terlihat sudah lapar..
Tapi salahku terlalu banyak cabai kutambahkan,
Aku lupa ini buat perut yang tak tahan pedas
Sebelumnya hanya dua biji cabai rawit inul yang langsung aku gilas tanpa membuang bijinya,
Tapi entah kenapa zat capsaisin merasukiku..
Hingga kutambahkan dua tiga empat lima enam dua belas lagi untuk berkawan...

Memasak kadang seperti kehidupan,

Aku tidak tahu jadinya seperti apa,
Yang kutahu..
Ada rencana besar sebelum memulainya..
Meski kenyataan tak seperti harapan,
Tapi pasti ada suka dukanya,
ada hikmahnya....
Dan memasak pun seperti menjodoh-jodohkan bahan-bahan,
Saat buncis sangat enak dimasak dengan ebi dan tiram..
Namun kurang pas dengan kuah soto
Yaa...ada gurih rasa bawang, sayuran matang, dan komposisi bumbu lainya...
Cukup untuk selalu di bilang "enak"
Tapi aku tahu ini tak cukup enak
Karena enak harus diucapkan secara spontan sebelum ditanya itu enak atau tidak...
Dan aku harap dapur itu selalu dan menjadi sibuk,
Sehingga aku akan membeli beberapa teflon, dan segala bentuk panci....
Aku hanya berharap gas dengan tabung biru itu jangan cepat kosong..
Sehingga harus segera diganti,
Karena ada yang menanti hasil karyaku untuk perutnya...

Jambu Biji

Sebulan yang lalu
Biji kubuang sembarang
Tak ku ingat apakah ia manis atau pahit
Sehari lalu : biji tumbuh jadi pohon
Pada sembarang lubang di halaman
Tak ku tahu ia akan manis atau pahit
Tentu ku tunggu ia berbuah
Mungkin seminggu atau sewindu lagi
Mungkin pada sembarang waktu.

Selasa, 05 September 2017

Selamat Dinihari Rindu

Selamat dinihari, Rindu, sudah malam yang kesekian mataku masih saja terjaga dengan hebatnya, ia seperti tak kenal kantuk, tak kenal lelah dalam segala bentuk. Kau tahu kenapa, Rindu? aku jatuh cinta! aku jatuh cinta kepada dia yang wajahnya kulihat setiap hari, entah di tempat kerja, terkadang di akhir pekan, saat aku menghabiskan waktu hampir seharian. Aku jatuh cinta pada senyum dan tawanya, aku jatuh cinta pada cara dia berjalan, pada cara dia bicara, bahkan pada airmata yang pernah mengalir di pipinya. Aku jatuh cinta pada setiap hal baru yang kutemukan tentangnya. Ah, kurasa aku jatuh cinta pada segalanya tentang dia.

Bergelas-gelas kopi kuhabiskan belakangan ini, Rindu. Aku sedang senang-senangnya terjaga, mengingat segalanya tentang dia, mendengar suaranya di ujung sana, tentunya dengan debar hati yang tak biasa. Menuliskan segala yang tak tersampaikan suara lewat puisi, lewat kata-kata sunyi, sambil berharap di satu waktu ia akan sudi membacanya.

Kau tahu,  Rindu? Rinduku seperti dirawat waktu. Dibuatnya selalu mekar tak kenal musim, tak kenal panas dan dingin. Dibuatnya cintaku setangguh karang, tak terkikis meski seringkali diterjang gelombang. Aku yang terkadang kekanakan, berpikir bersamanya mampu mendewasakan. Aku yang pemalas, namun teramat ingin memilikinya dengan bergegas. Untuknya bisa kuciptakan puluhan bahkan ratusan puisi, tak kenal jengah, karena kepadanyalah hatiku ingin berhenti mencari, melemparkan sauh yang terakhir kali, untuk kemudian berlabuh dan menjadikannya rumah di sisa usia.

Bukankah itu luar biasa, Rindu? Segala yang kurasa tentangnya. Tak ada yang dikurang-tambahkan.

Pada akhirnya, bisa  tolong sampaikan suratku ini untuknya, Rindu?
Belakangan ini menatap punggungnya saja mampu membuatku gagu bicara, seperti kehabisan kata-kata
: aku terlalu jatuh cinta.