Sabtu, 29 November 2014

Sudah Malam

Sudah jam sembilan malam
Jalan menuju rumahku masih tersendat
Klakson mobil berbunyi berkali-kali
Hanya agar sepi tak cepat mati
Malam adalah senja yang salah waktu
Matahari telah diganti lampu-lampu
Jerawat tumbuh di pucuk hidung
Dan ketiak pun telah kehilangan parfum
Kembali klakson mobil ku Bunyikan berkali-kali
Terbayang harum kopi dari pendingin udara...
Waktu terus berlari...


Adakah

Adakah kau masih menunggu
Takdir lain serupa pertemuan
Tanpa rencana
Di stasiun entah
Yang kita sendiri tak tahu.

Selamat Malam

Selamat malam Bu
Apakah ditengah kemacetan ini kecantikan masih berguna
Ibuku tidak menjawab
Malah berkata
Kemacetan terbentang antara
Hati yang kusut dan pikiran yang ruwet
Demi kemacetan tercinta
Aku rela menjadi tua dijalan 
Rela melupakan umur
Malam semakin merayap, banjir sebentar lagi tiba
Di kaca spion aku lihat anakku tertidur.


Dongeng

Ketika kau lahir
Aku sedang menulis puisi
Dan minum kopi
Listrik mendadak mati
Pada cangkir kedua puisi menampakkan diri
Kata berdatangan dari berbagai penjuru
Sehabis cangkir ketiga
Aku mengambil kata kopi
Melemparkannya ke bumi
Listrik menyala
Hujan kopi berderai.

Dalam Lipatan

Dalam lipatan kain
Ku temukan kembali namamu
Kembali kain kulipat
Kulipat namamu
Kulipat waktu

Berpindah

Hijrah dari kota ke kota
Membawa ransel berat di punggung
Seperti memboyong ingatan tentang tenung, sabung dan lempung
Aku berjalan pelan sambil bernyanyi cinta
Agar batu dan rumput merasa basah
Kau tahu, kukira leluhurmu adalah bekicot
Tapi tidak.
Leluhurmu ternyata kura-kura.